Tukang Grafir
Hanya ada satu tukang grafir di kota kami dan kebetulan
dia adalah paman saya. Kalau dia bercakap dengan saya akhir-akhir ini, dia
takkan bercerita tentang pekerjaannya, tapi akan lebih banyak bercerita tentang
anak perawannya. Tapi pun, kalau dia bercerita tentang anak perawannya, dia
takkan bercerita tentang kecantikan anak perawannya yang cantik itu, malah
sebaliknya, yaitu tentang kecemasannya kepada anaknya yang mungkin takkan
mendapat jodoh.
Hal ini merupakan kesedihan seorang bapak yang
sungguh-sungguh. Dan ia, sepantasnya dihormati, seorang bapak yang
bersungguh-sungguh, seperti paman saya itu, yang mengerti akan kehendak paksa
dari zaman ini. Zaman ini makin hari makin mempunyai mode kehidupan yang
beragam-ragam. Seorang pemuda lebih senang membujang daripada kawin lekas-lekas
atau seorang gadis lebih senang bertukar pacar berkali-kali daripada diikat
oleh cincin pertunangan.
Kecemasan paman saya itu pantas dihormati, Kecemasannya
terletak pada mode yang terakhir ini. Hal ini mulai timbul pada suatu malam
ketika saya mematahkan semangat kekagumannya pada sebuah foto seorang gadis
yang terpasang di sebuah majalah,
“Seharusnya tiap-tiap gadis bersikap begini,” katanya.
“Kenapa?”
“Gadis ini bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang
baik,” lalu dia memberikan majalah itu kepada saya, tapi saya tak
mengacuhkannya,
“Kau adalah contohnya pemuda-pemuda zaman ini,” katanya.
“Kenapa?”
“Acuh tak acuh,” katanya.
“Soalnya,” kata saya, “tiap-tiap gadis bisa mengucapkan
kata-kata itu. Kalimat klise ini sudah sering saya dengar.”
“Di mana?”
“Di majalah-majalah.”
“Kenapa?”
“Kalimat itu sudah jadi klise, dan bukan cita- cita. Sama
halnya nanti mereka suka pada yurk-yurk yang pendek dan kembang seperti penari
balet dan mungkin tahun depan mereka tak suka lagi.”
Saya sungguh menyesal telah mengucapkan kata-kata itu,
sebab tiba-tiba mukanya jadi murung. Dia mengangguk-angguk sambil membuka kaca
matanya yang setebal mikroskop kacanya itu, lalu menghapus-hapus tahi matanya.
Dan kemudian dikatakannya kepada saya, bahwa anak perawannya akhir-akhir ini
memang sering mendesak dia agar membelikan rok itu.
“Rok itu kau tahu namanya?” tanyanya.
“Saya dengar itulah yang disebut ken-ken,” kata saya.
“Ya, ken-ken.” katanya. Lalu ia tersenyum sesaat walaupun
saya tidak merasa ada sesuatu yang menggelikan. “Saya dengar, begitu kembangnya
rok itu, bisa dimasukkan sepuluh rantang di dalamnya. Zaman ini semakin aneh,”
katanya. “Tapi rok itu sendiri bisa juga dibikin dengan bahan lurik. Cuma, yang
di dalamnyalah yang mahal. Seribu lima ratus di toko.”
“Begitu mahal?” tanya saya,
“Itulah peti-kot,” katanya dengan suara keras, seperti
penemuan yang tiba-tiba dijumpai.
Tapi tiba-tiba pula kami pun kehabisan kata-kata.
Sehingga seperti semula tadi, ia pun menjadi murung.
Dia memang kelihatannya agak pemurung setahu saya, sejak
saya kecil dan mengenalnya sebagai tukang grafir. Di antara sebelas orang paman
saya, dialah yang paling miskin. Saya akan teringat lagi akan kata-kata ayah
saya, sewaktu saya sering membolos dulu semasa sekolah. Ayah saya selalu
membandingkan kebolosan saya dengan menyebutkan nama paman. Kata ayah,
bermalas-malaslah kau, nanti kau cuma bisa jadi tukang gratfir. Dulu terkesan
di hati saya, seakan-akan pekerjaan tukang grafir adalah pekerjaan yang paling
hina di dunia ini. Tapi kesan saya ini makin lama makin berkurang dan makin
hilang, setelah saya tahu betapa kita seharusnya menaruh hormat pada orang-orang
yang cinta pada pekerjaannya.
Paman saya tukang grafir itu sangat cinta pada
pekerjaannya..
Dia berangkat dari rumah pada jam tujuh pagi, dan pulang
pada jam sepuluh malam, setelah dia tahu tidak akan banyak lagi orang-orang
lalu-lalang di jalan raya. Dia makan siang dan makan malam di tempat dia
bekerja, sebuah pojokan kecil di muka sebuah hotel kepunyaan orang Cina. Dengan
tidak berbangga paman saya mengatakan, bahwa ia pun tahu akan huruf-huruf Cina,
karena Cina-cina pun suka meminta supaya pulpennya atau barang-barang antiknya
digrafir dengan huruf-huruf Cina yang dibuatkannya sendiri contohnya.
Suatu hari saya datang lagi ke tempat paman, bukan untuk
melihat anak perawannya yang cantik di situ, tapi ingin mengobrol saja. Dia
termasuk seorang yang saya kenal yang pandai bercerita tanpa menyombongkan
dirinya, melainkan dengan kerendahan hati. Tiap orang yang diceritakannya, biar
orang yang paling jahat dan terkutuk sekalipun, selalu diceritakannya dengan
suatu rasa simpati. Bagi yang terkutuk dan paling jahat, seakan-akan diberinya
maaf dan kadang-kadang seperti ia cuma merasa kasihan kepada mereka itu.
Darinyalah saya banyak belajar arti kebaikan dan menghargai orang lain.
“Barangkali mata saya akan buta,” katanya, sangat
tiba-tiba.
“Mengapa?”
“Huruf-huruf yang saya bikin, kata pemesan-pemesan saya
itu, semakin buruk dan kurang padat. Baik huruf-huruf yang saya bikin di
pulpen, maupun di piala ataupun apa saja. Barangkali mata saya akan buta.”
Saya terdiam.
Dan dia melanjutkan, “Kalau saya buta, ke mana anak-anak
itu akan pergi?”
Saya makin terdiam.
“Mereka akan kelaparan, berhenti bersekolah, sedangkan
anak gadis saya belum laku,” katanya.
Lalu saya berusaha menghiburnya. Saya katakan, bahwa anak
perawannya yang cantik pernah saya lihat dibawa oleh seorang pemuda di sebuah
bioskop. “Barangkali nanti akan menjadi jodohnya,” kata saya.
Saya mengira semula kata-kata saya akan menyenangkan
hatinya, tapi sebaliknya ia terdiam agak lama.
“Kalau jodoh, tidak apa. Tapi kalau cuma
berpacar-pacaran,” Paman saya menghapus kaca matanya yang tebal itu dan
mengerunyutkan keningnya, melihat suatu yang jauh.
“Saya seakan-akan tidak melihat apa yang di depan itu
lagi,” katanya.
“Sebaiknya diperiksakan ke dokter.”
“Barangkali mata saya akan buta,” katanya.
“Saya punya seorang kawan dokter mata,” kata saya,
“Biarlah saya buta dan tidak melihat semua ini lagi.”
Saya terdiam. Saya lihat dia memasang kaca matanya yang
tebal itu lagi.
“Tapi mereka akan kelaparan,” katanya pula.
Ketika itu lewat seorang anaknya dan melihat sebentar
kepada kami. Saya tak tahu itu anaknya ke berapa, sebab anaknya semuanya ada
sepuluh orang. Anak itu meminta kepada ayahnya dibelikan buku komik. Tapi
ayahnya terdiam saja. Lain saya teringat lagi semasa kecil saya, di mana saya
sangat menggemari buku.
Saya merasa seorang yang sangat beruntung ketika ini,
karena dulu saya cuma mengucapkan dua-tiga patah kata saja, yaitu nama buku
yang saya minta itu, besoknya ayah saya telah membawa saya ke toko buku itu dan
biasanya, saya akan meminta dua buah buku lagi.
“Semua kawan-kawan sudah membeli, Pak,” kata anak paman
itu.
Saya melihat anak itu. Saya melihat matanya seakan-akan
saya melihat diri saya sendiri ketika kecil, yang dalam kepalanya penuh
keinginan pada dongeng-dongeng yang indah, mengerikan, menakjubkan. Anak itu
merengek-rengek.
“Saya kepingin tahu bagaimana Flash Gordon naik ke bulan,
Pak. Kawan-kawan yang sudah beli mengatakan, bahwa di bulan ada gunung dan
Flash Gordon bikin rumah di sana,” kata anak paman saya itu.
“Kan kamu tahu ceritanya,” kata paman saya.
“Tapi saya tidak percaya. Saya mau melihat sendiri
bagaimana di bulan orang bikin rumah. Dan apakah Lisa istri si Flash masak
seperti ibu masak,” katanya.
Sekali lagi anak ini membuat bayangan masa lampau kepada
saya, di mana dulu sewaktu kecil saya ingin tahu semua dongeng-dongeng
kehidupan, Yang setelah besar saya merasakan, bahwa bukan saja ingin tahu, tapi
juga ingin mengatasinya dan mencintainya.
Anak paman saya duduk terus di ujung kaki ayahnya. Ia
tidak pergi dan cuma berdiam diri selama setengah jam.
Kemudian ia jadi kesal rupanya, dan setelah merusaki
susunan taplak meja. ia lari cepat-cepat karena dipanggil kawannya.
“Bukan buku saja yang mau dimakannya, dongeng-dongeng itu
pun mau dimakannya,” kata paman sambil tersenyum. Dan tiba-tiba tanyanya, “Benar kau lihat Sumini menonton di bioskop?”
“Benar.”
Saya mengira dia akan senang dengan tekanan keras suara
saya yang membenarkan itu, tapi ternyata tidak. Dia tetap kembali murung dan
saya pun pulanglah.
Sejak itu saya memutuskan tidak akan pergi lagi ke rumah
paman itu. Saya khawatir kalau kedatangan saya menyebabkan keadaannya semakin
buruk.
Suatu kali, saya lihat dia tergesa-gesa mengejar saya.
Sebenarnya saya sudah sukar untuk menghindar, tapi saya coba juga.
Akhirnya saya dengar nama saya dipanggilnya. Dia
mengundang saya datang ke rumahnya dan menanyakan kenapa saya jarang-jarang
lagi datang ke tempatnya. Hari sudah agak larut malam dan saya menjanjikan
untuk datang besok saja. Tapi dia mengajak saya juga. Untunglah rumahnya tidak
jauh.
“Kenapa agak larut baru tutup?” tanya saya.
“Jam sepuluh tadi saya sudah putus asa. Kebetulan ada
orang datang juga pada jam setengah sebelas tadi,” katanya.
Di rumah diceritakan lagi olehnya, pada jam delapan malam
itu ia merasa matanya semakin berair. Ia merasa makin khawatir akan buta saat
itu dan dia menangis. Dia menangis karena pada hari itu tak seorang pun
mengupah membuat huruf kepadanya, baik pada sebuah pulpen sekalipun.
Pada jam sepuluh sudah akan ditutupnya, seperti biasa.
Dan ia melihat jalanan sudah sepi sekali.
Lampu petromaks sudah diturunkannya, tapi belum lagi
dipadamkannya. Seorang penghuni hotel ke luar dari beranda dan menanyakan
kepadanya kenapakah belum ditutup. Lalu dia menceritakan bahwa dia akan menunggu
setengah jam lagi, akan terjadi kebakaran hebat di kota ini dan semua manusia
bersama rumah-rumah akan musnah dimakan api. Penghuni hotel itu tertarik dan
bertanya, dari manakah ia tahu. Ia merasa gila waktu itu telah menceritakan
angan-angannya yang bukan-bukan itu, tapi tetap tidak diceritakannya apa yang
akan dilakukannya kepada penghuni hotel itu.
Tiba-tiba ia melihat ada seorang menuju ke pojok hotel di
mana ia bekerja setiap hari. Ia mengira orang itu akan mengupahkan membuat
huruf grafir. Ia melihat orang itu membuka kotak kecil dan jarak itu masih
jauh. Orang itu datang terburu-buru ketika lampu petromaks diangkat dan
cepat-cepat dikatakannya, “Jangan tutup dulu.”
“Mau apa?”
“Saya mau mengupahkan bikin nama.”
Orang itu mengunjukkan sebuah pulpen kepadanya. Pulpen
itu berkilat dan masih baru.
“Ini pulpen mahal. Setidak-tidaknya berharga tiga ribu
rupiah,” katanya. Orang itu agak malu-malu.
“Saudara akan dibikinkan huruf-huruf balok ataukah huruf
yang mana?” kepada orang itu diunjukkannya contoh-contoh huruf. Kemudian
diunjukkannya sebuah contoh huruf.
“Ini agak sukar. Mata saya semakin kabur dan tangan saya
agak suka gemetar. Saya sudah tua. Tapi, huruf-huruf balok juga bagus.”
“Biarlah yang ini saja. Berapa pun akan saya bayar,” kata
orang itu.
“Nanti Saudara menyesal, tapi baiklah akan saya coba.”
Diambilnya alat-alat grafir dan dipasangnya lampu
petromaks baik-baik.
“Duduklah dulu .Coba tuliskan di kertas ini nama yang
akan ditulis di pulpen ini. Pulpen ini bagus dan mahal! Di mana saudara
bekerja?”
“Di sebuah NV, jadi kasir.”
“NV mana?”
“NV Sumbawa.”
“Saudara orang Sumbawa?”
“Ya.”
“Sudah berumah tangga?”
“Belum, Pak. Tapi mungkin tidak lama lagi. “ Kini
dilihatnya lelaki itu.
“Sebaiknya jangan lekas-lekas kawin. Umumnya orang-orang
yang lekas kawin, kebanyakan menyesal, tidak bisa lama menikmati masa muda
seperti saya. Saya kawin pada umur sembilan belas,” katanya. Dan
diperhatikannya lagi lelaki itu dari balik kaca matanya yang tebal itu.
“Tapi bukan seperti yang lain itu pendirian saya, Pak.
Saya mau kawin karena ingin mencari keseimbangan dalam hidup ini,” kata orang
itu agak malu-malu sambil tertawa.
Orang itu dipandangnya tepat-tepat.
“Benar-benar ini?” tanyanya dengan suara kepastian.
“Benar-benar,” kata lelaki itu dengan muka agak merah
padam.
“Saya senang, Saudara begini muda sudah punya sikap
hidup. Tulislah nama yang akan dibikinkan itu,” katanya.
Diambilnya kertas itu. Dan dibacanya nama yang akan
dibikinkannya itu. Ketika dibacanya, yang mula sekali tidak dipercaya adalah
matanya sendiri, kemudian ia tak percaya pada hati dan perasaan dan pikirannya.
Ia telah membaca sebuah nama, nama anak perawannya sendiri.
“Inikah calon istri Saudara itu?”
“Ya.”
“Pernah Saudara membawa dia ke bioskop?”
“Pernah.”
“Wah, alangkah bahagianya.”
Tapi kegembiraannya tiba-tiba padam, sebab bukan anak
perawannya seorang saja yang bernama Sumini, di dunia yang besar ini. Kemudian
ia merasa semakin kecil.
“Saya ini orang tua yang nyinyir. Di mana tinggalnya anak
ini? Rasanya saya pernah kenal,” katanya dengan gugup.
“Di Jalan Pahlawan 45,” kata orang itu.
Kini telinganyalah yang pertama kali tak dipercayanya,
demi mendengar alamat itu.
“Jalan Pahlawan 45?”
“Ya, Jalan Pahlawan 45.”
Sifat-sifat tuanya dalam hal menerima suatu kegembiraan
tiba-tiba terkuasai olehnya. Ia pun bertanya pada orang itu, “Ongkosnya mahal
sekali Saudara, bukan mudah membuat huruf-huruf seperti ini, Seratus rupiah,
Saudara,”
“Biarlah, biarlah. Besok dia ulang tahun. Saya harus
menggembirakan hatinya. Berapa saja saya akan membayar untuk menggembirakan
dia,” kata orang itu.
“Tapi saya kira tahun depan Saudara akan datang ke sini
lagi dan mengupahkan kepada saya dan namanya adalah nama gadis lain lagi.”
Kini dipandangnya lelaki itu dan ia melihat wajah lelaki
itu dengan urat-urat muka dikeningnya menuncit-nuncit.
“Maaf,
maaf,” katanya kemudian.
Telapak
tangannya jadi basah dan dihapusnya dengan gugup. Tapi tiba-tiba ia menguasai
kegugupan yang menggelepar di dadanya itu, menangkap kegugupan itu erat-erat.
Dibetulkannya kaca matanya yang tebal. Ia pun mulai bekerja, kerja terakhir
hari itu. Sebagai tukang grafir yang sangat cinta pada pekerjaannya, saya kira,
itulah hari yang paling menyenangkan, dan saya dapat membayangkan sendiri,
bagaimana malam itu paman saya menuliskan sebuah nama yang belum pernah
dibikinnya selama ini. Karena nama itu adalah nama anaknya sendiri. Lalu
diceritakannya kepada saya bagaimana geli hatinya ketika membatalkan niatnya akan
membakar kota itu dan dikatakannya pula kepada saya, bahwa memusnahkan dalam
sekejap mungkin lebih gampang daripada membangunnya dalam waktu bertahun-tahun.